Jumat, 13 April 2012

Mas Mono

Bagi lidah orang Indonesia, makanan yang dibakar boleh dibilang merupakan makanan favorit. Kita kenal mulai dari daging hingga nasi dibakar, dan terbukti mak nyuss.

Salah satu yang sudah menjamir adalah menu ayam bakar. Ayam bakar yang terkenal berasal dari Klaten, Jawa Tengah. Meski demikian, ada berbagai ayam bakar yang dikembangkan oleh masyarakat lain dengan cita rasa khas daerahnya.

Kegemaran lidah orang Indonesia terhadap ayam bakar ini akhirnya dilihat sebagai peluang usaha yang manis dan menggiurkan. Salah satunya Mas Mono. Melalui merek dagang "Ayam Bakar Mas Mono" ia menebar menu ayam bakar ke seantero Jabodetabek. Mas Mono memulai usahanya di bilangan Tebet, Jakarta Selatan.

Salah satu cabang warung ini bisa ditemukan di Jalan Raya Kalimalang dekat Pangkalan Jati, Jakarta Timur.  Letaknya memang terbilang strategis lantaran dekat dengan pusat perbelanjaan dan jalan utama penghubung daerah Cawang dan Bekasi.

Warung Ayam Bakar Mas Mono Cabang Kalimalang ini hampir tak pernah sepi.  Kondisi sama juga ada di cabang-cabang Warung Ayam Bakar "Mas Mono" se-Jabodetabek.

Menu Ayam Bakar di Warung Ayam Bakar "Mas Mono" memang juara rasanya. Dagingnya empuk dengan bumbu rempahnya begitu terasa. Rasa manis dan gurih begitu terasa di setiap gigitannya. Mak Nyuss pokoknya!

Berawal dari Office Boy
Jalan hidup memang rahasia Tuhan, tak seorang pun bisa menebaknya. Begitu pula kisah hidup pemilih warung Ayam Bakar "Mas Mono", A. Pramono (36). Belasan tahun lalu, ketika pria kelahiran Madiun ini mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, ia memulainya dengan menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta.

Meski karirnya mulai menanjak, yakni menjadi supervisor di perusahaan itu, ia pun memilih untuk berwirausaha.  Pramono, sering dipanggil Mono, ini memulainya dengan menjadi pedagang ayam bakar di pinggir jalan. Ternyata usahanya tersebut sukses. Kini Pramono sudah menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha. 

“Kalau cerita saya dibikin sinetron mungkin akan menarik,” kata Mono di kedainya di Jalan Tebet Raya No 57, Jakarta Selatan.

Namun, ayah satu anak ini buru buru menambahkan bahwa sukses bisa diraihnya setelah melewati proses yang cukup panjang. la meyakini, dalam hidup ini tidak ada sesuatu yang instan. Artinya, kalau ingin sukses mesti lewat perjuangan.

“Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau tahu, ketika memulai usaha ini saya harus ke pasar jam tiga dinihari. Jam empat subuh sudah menyalakan kompor, ketika kebanyakan orang masih tidur,” ujar Pramono.

Awalnya, suami Nunung ini berjualan ayam bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta Selatan, persisnya di seberang Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari-kecuali hari libur dia menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang. Dengan memakai kaus, celana gombrang dan sandal jepit, dia setia melayani pembeli yang datang dari pagi sampai pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan orang kantoran yang bekerja di wilayah tersebut.

“Tapi ya namanya dagang kaki lima, ada gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood,” tutur Pramono sambil memperlihatkan foto lamanya di laptop.

Pria yang menamatkan S3 (maksudnya tamat SD, SMP, SMA) di Madiun ini belakangan akrab dengan laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional dari Entrepreneur University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu bahan presentasinya ketika membawakan materi tentang wirausaha.

Menurut Pramono, sejak dulu dia suka fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu sejak sukses.

Hobi Belajar
Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki Pramono dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya belajar sesuatu yang baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Tahun 1999, ketika menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono selalu memanfaatkan,waktu luangnya dengan belajar komputer. Bukan bermain bermain game seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan menguasai keterampilan itu kariernya bisa naik dan gajinya juga akan lebih besar.

Pramono benar, karena kariernya terus meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor. Meski jabatannya cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk meningkatkan taraf hidupnya. Cita-citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih membahagiakan orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.
Akhirnya, tahun 2001 dia keluar dart perusahaan tersebut dan memulai usaha dengan berjualan gorengan keliling di seputar,wilayah Pancoran, Jakarta Selatan. Langkahnya rada ekstrem. Sebab, bagi Pramono, untuk memulai usaha tidak perlu banyak berpikir, apalagi menghitung rugi laba. Yang terpenting adalah melakukan action.

“Banyak saudara saya yang tidak terima dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal berdagang, omzetnya baru Rp 15.000 sampai Rp 20.000 per hari,” ujarnya.

Meski menghadapi banyak tantangan, Pramono tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia mendapat lapak kosong di seberang Universitas Sahid. Dengan modal Rp 500.000 untuk membeli gerobak dan peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor, Pramono membuka lembaran barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir mendorong gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir. Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan dulu.

“Kalau orang lain mungkin sudah mikir macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah, ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan otak kanan. Selalu optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono.

Terlepas dart peristiwa itu, beberapa tahun kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono berkembang pesat. Dia mempunyai 13 cabang dan dalam satu hari bisa menjual 1.000 ekor ayam. “Sampai sekarang saya merasa seperti mimpi. Kok bisa ya,” kata Pramono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar